Sabtu, 08 Mei 2010

Tuhan, Tuhan, Tuhan...

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia dan berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (Notonagoro, 1975: 43:44).

Tetapi disini bolehlah disinggung tentang suatu aspek dari sila-sila yang tidak releven dengan kehidupan, walaupun dengan mengesampingkan kesalah-pahaman yang nanti akan ditimbulkannya, mengutip pendapat Iwan simatupang, dalam esai-esai kebebasan pengarangnya, mengatakan sungguhpun pancasila digembar-gemborkan sebagai pancasila sakti atau sakit? Selamanya hanya akan menjadikan sebuah wacana saja, tanpa sila pun kita rakyat Indonesia pun masih bisa (bertahan hidup).
Dapatlah diajukan sebagai theis: pancasila sebagai ekstraksi dari undang-undang dasar kita, harus membaui segala-galanya dari kita, ungkapan batin kita, dengan kata-kata lain, adakah pancasila menjadi fungsi filsafat dan fungsi konstitusionilnya.suatu kenyataan yang ada yaitu pengertian metafisis.
Pertanyaan baru akan jadi menarik, bila ia berbunyi: sampai dimanakah pancasila sebagai seni aktualisasi dalam kehidupan kebernegaraan kita khususnya?Kebenaran pancasila sebagai pandangan hidup resmi dari sekian manusia yang ada dari sabang sampai merauke masih lagi perlu benar dikaji. Untuk ini kita jangan berpikir dengan lencana merah putih sebesar serbet didada. Soal pandangan hidup adalah soal dari siapa saja yang belum dekaden dan fatalis, yang mau menentukan pandangannya atas hidupnya sendiri. Tak usah kita meloncat-loncat sambil menunjuk-nunjuk naskah declaration of human right, ke gedung PBB di new York, ke gedung mahkamah agung kita untuk mencari kekuatan bagi pendapat kita. Hidup kita selanjutnya ingin kita langkahkan dari segala keremangan dan kegelapan. Dan konon manusia tak mungkin menjauhkan diri dari ragu-ragu, maka seharusnya itu dapat diterimanya dengan keyakinan, seperti keyakinan yang ada padanya dalam penyerahan dirinya terhadap makan dan minum.
Pancasila adalah lima tunggal dari ketuhanan, perikemanusiaan, kebangsaan, kedaulatan rakyat, dan , keadilan sosial. Ketuhanan adalah suatu pengertian terbuka yang multitafsir, bungkuk dengan dukungan tanda tanya. Ia bikin hiruk pikuk dalam tempurung otak manusia sejak sekandal hawa dengan ularnya dulu. Dan walhasil, dari hiru pikuk ini hingga kini hanyalah, bahwa jumlah orang yang tunggang langgang ke biara dan gunung pertapaan masih berbanding sama saja dengan jumlah yang mengutik-utik iblis. Untuk tak mengarahkan telunjuknya ke blok yang netral, kaum oportunis, yang punyai perhitungan eksak, bila saatnya yang baik untuk adakan kolaborasi dengan tuhan, dan bila pula untuk berkomplot dengan syaitan. Pengemukaan “ketuhanan” dalam pandangan hidup dalam batas-batas geografi sama, hanyalah sebenarnya kain merah pada lembu galak saja. ‘Ingat tuhan, ayo ingat tuhan!’, bunyi refein dari mars dalam sorak yang parau jalan manusia. Tak diketahui bahwa ‘tuhan’ sudah mendatang dengan sendirinya kombinasi-kombinasi pikiran dalam bentuk korelasi, dalam bentuk pertentangan, yaitu: Tuhan-iblis, surga-neraka, malaikat-dadjal dan seterusnya. Dan sebelum manusia belum memperoleh anugerah untuk di promovir jadi malaikat semua, dan selama tuhan belum bersedia meninjau kembali seluruh ciptaanya, menghapus neraka dan mencekik mati iblis, selama duka –cerita manusia tak berakhiran: ia silih berganti, pro tuhan dan pro iblis, atau terjadi penyibakan, dimana tercipta penjenisan calon surga dan calon neraka.dan mungkin sekali ada pula jenis ‘fifty-fifty’ yang kelak akan memperoleh haluan ke daerah tak bertuan. Bukan bermaksud disini supaya baik itu dibatalkan saja semua agama dan kepercayaan, walau ini sebagai suatu kemungkinan bukan hal yang tak menarik.


Tetapi guna apa suatu tak mungkin jadi malaikat direnggutnya dari satuan dari sifat-sifat mutlak manusia yang lain, direliefkan untuk kemudian dibabtiskan sebagai ucapan gagah: Pandangan hidup? Apakah dengan ini sebenarnya hanya mau dikatakan, bahwa ideal terakhir hanyalah menghendaki status quo dari moral yang berlaku hingga kini, yaitu: Manusia tetap satuan dari pahala dan dosa? Alangkah kontradiktifnya: ideal yang statis!
Pandangan hidup bukanlah suatu snapshot dari suatu tafereelce untuk ditempelkan dalam album tetapi: suatu pelarian ke muka. Pengertian ‘ketuhanan’ bukanlah barang baru lagi. Ini bukan berarti pula bahwa keyakinan kita hanya tercurah pada pendapatan baru saja, yang aktuil dan sensasional saja. Tidak!
Tetapi melihat dengan tak pesimis ke hasil total jenderal dari usaha untuk secara sistematis dan periodic mengaktuilkan ‘Ketuhanan’ sebagai masalah, membuat kita berhasrat supaya ia ditarik saja sebagai suatu nilai dari bursa masalah. Romantiknya sudah aus, rangsang yang dating daripadanya sudah habis. Yang tinggal hanyalah gerak-gerak rutin yang berwujud dalam seremoni kenyang saja. Lebih baik ia dengan segala hormat dan takzim kita singkirkan dari jalan, dimana ia cuma lebih perintang saja daripada penunjuk arah.
Perikemanusiaan juga suatu pengertian terbuka, yang memungkinkan manusia sendiri bermanipulasi sebelit-belitnya dengannya. Suatu dari sekian abstraksi yang serba tafsir. Dapat diperkepang oleh manusia golongan manapun jua. Kaidahnya dapat di spekulir, diulur-ulur. Hakikatnya tak ada, kecuali barangkali bahwa dengan adanya istilah ini manusia mengatakan kamusnya bertambah tebal, sedang tempurung otaknya melompong.
Apa semua ini tak bikin dari surg sebuah eksapilock, dimana makhluk-makhluknya tak luput dari dekandensi dan immoralitas? Hukum-hukum seperti apakah dan yang bagaimana yang berpengaruh nanti di suga? O, mistik jangan katakan ini tak layak ditepekuri oleh insan "n" yang ada di planet ini, dan bahwa segala-galanya baik diserahkan saja pada sang Kuasa, mistik semacam ini bahkan areligius, hanya akan kabuti tebal-tebal surga itu sendiri, yang bikin pupus segala plastic dan tehnicolornya!
Tetapi bila hukum yang berlaku disana dengan hukum planet kita ini, dan di surga juga ada keragaman makhluk ada yang adil, juga ada yang tak adil, juga ada ketegangan dan kepincangan dalam masyarakatnya, buat apa penuh-penuh mulut mengucapkan suatu pandangan hidup yang tenaga maksimumnya hanya bisa kasih kita status quo?
Bila kita mau katakan kepada masyarakat bangsa-bangsa yang lain, bahwa kita bangsa Indonesia sebenarnya inginkan yang baik dari segala, dan dari sekian soal yang menyinggung manusia, mengapa dipilih dan ditonjolkan hanya lima? Dan, pilihan yang betapa: manusia didegradir jadi abstraksi ‘perikemanusiaan’ sesudah itu ia dilempar ke dalam sebuah sel yang tumpat: Tuhan sebagai jubin dan langi-langit, bangsa, daulat, dan adil sebagai drakula yang menampakkan kepalanya dari celah-celah dinding, dimana Bung Karno seharusnya meneruskan niatnya mengisutkan pancasila via trisila terus ke ekasila, disini menarik napas sebentar,kemudian berkata: ‘dan ekasila ini pun dapat di pulangkan ke

tanpasila, sebab masih amat banyak yang baik-baik di samping hanya gotong-royong. Amat banyak sehingga tak dapat di absahkan dalam bilangan manapun juga, bilangan tak berhingga (~) pun tidak. Oleh sebab itu, saya amanatkan, kita tak sila-silaan, pandangan hidup kita semua ya, tanpa sila! Pandangan hidup seharusnya pandangan yang selapang-lapangnya atas hidup integral yang tak bisa dibatasi hanya dengan lima sila saja.
Dan dari jenis manakah demokrasi yang kita anut? Datang lagi dengan sejenis demokrasi diatas segala demokrasi hingga kini. Kalau hanya ini jenis demokrasi yang ada dan mungkin ada,tidaklah lebih baik kita membuang segala pretensi dan dugaan, dan mengatakan: ‘ demokrasi kami demokrasi langit ketujuh, abstrak, sedemikian abstraknya hingga tidak mungkin di manifestasikan!’ atau kita jadikan kesukaan sebentar berolok-olok dengan paradoks-paradoks, dalam gaya Lao Tse dengan Tao-nya: demokrasi kami antara ada dan tiada, ada dan bagus dalam hakikat, tiada dalam lahir…’
Dan sebagai embel-embel dalam rangka : keadilan sosial. Juga suatu pengertian terbuka, justru oleh nisbihnya arti ‘adil’. Siapa adil? Apa ini tak bergantung dari tempat, dimana badan tegak? Neurenberg tempat pembegalan orang-orang Nazi, karena keadilan Sekutu yang berlaku, perang dingin kini ini disebabkan berselisihnya tafsiran di Kremlin dan di dunia barat tentang keadilan.
Demokrasi kini telah mendapat atribut baru yang hanya menandakan masih cairnya untuk dipakai di segala tujuan.tak ada ukuran mutlak guna menimbang-nimbang manusia mana yang lebih bangsawan apakah jenis: Homo homini lupus dan bellum omnumcontra omnes, atau jenis kemanusiaan genesis,kemanusiaan Samson dari bani falestin, kemanusiaan Kristus dari bukit golgota.
Jangan terlalu cepat di camkan kata-kata seperti, culture pessimism, fatalism, nihilism dan sebagainya. Bukankah Dyonisos, ahasverus, Manfred tokoh Byron,Lucifer dari vondel, faust, anti Christ dari Nietzsche dan lain tokoh yang bisa ditempatkan dalam anti legendarisme, justru menonjol mendukung suatu arti oleh kebuntatan yang diberikan’kemanusiaan’ dengan segala persoalannya? Pancasila datang mebawa batas-batas, dan membawa suatu luasan kecil dari geleng kepala.
Dan kalau sikap yang begini, tukang-tukang cari isme tak dapat menahan kakinya dan datang menari-nari dengan papan merk: atheism, nihilism,satanisme,mauditisme, ya, barangkali bilangan 666 dari open baring johanes, sambil menunjuk-nunjuk ke gambar Zarathoestra, Heraklitos, Baudelaire, Voltaire, Nietzsche dan siapa tahu Jim carry yang eksentrik, kepada badut-badung ini, akan kita serukan dengan penuh iba: Go on to the next door, please...

1 komentar:

keho mengatakan...

ngomong apa sih? Hindu dan Buddha tidak berketuhanan yang maha esa! Orang2 munafik itu biasanya nyanyi2 lagu rohani tapi orangnya punya hati busuk! Ga tau deh, mungkin karena mereka nganggap gampang, nanti tobat! Tanpa mereka pernah mengerti arti ketuhanan. Apakah pengaruh agama memang betul2 berdampak pada pola pikir seseorang? Gw ngerasa aneh! Seharusnya kalau orang mikir2 tentang tuhan seharusnya sudah bisa mendapat keanehan tuhan dan ketidakmungkinan tuhan! tapi entahlah? lo juga dulu islam kan? kok bisa murtad gitu! Padahal kan diajarin islam baek2...